Pada malam Kamis, 22 Rabiul Awal 1321 H, setelah Salat Maghrib, Habib Ali ra memanggil puteri beliau, Khodijah. Tak berapa lama Khodijah datang dan duduk di hadapan ayahnya. Kemudian, sambil berbaring, Habib Ali bercerita kepada Khodijah:
Wahai Khodijah, suatu hari ayahku mengirim sepucuk surat kepadaku dari Mekah, di dalamnya beliau menulis: Pergilah ke Mekah, kau tak kuizinkan tinggal di Hadhramaut.
Aku segera memberitahu ibuku.
“Kita tidak bisa menentang kehendak ayahmu,” kata ibuku.
Sebenarnya ibuku tidak sanggup berpisah denganku, aku pun merasa berat untuk berpisah dengannya. Jika teringat perjalanan yang harus kulakukan ini, kami menangis.
Jam berganti hari, hari berganti minggu, dan waktu keberangkatanku semakin dekat. Pada saat keberangkatan, ibuku berpesan kepada Ahmad Ali Makarim.
“Tolong perhatikanlah Ali, ia belum pernah melakukan perjalanan jauh.”
“Marhabâ,” jawabnya.
Kami kemudian berangkat meninggalkan Seiwun menuju Mekah. Di tengah perjalanan kami singgah di Syihr. Tidak seorang pun yang mengenal ayahmu. Setiap hari, aku makan siang dan malam hanya berlaukkan sepotong ikan yang kubeli dengan uang satu umsut. Dari Syihr, aku pergi ke Jeddah kemudian ke Mekah, ke tempat ayahku. Beliau sangat senang melihat kedatanganku.
“Kau tak boleh kembali ke Hadhramaut selamanya,” kata ayahku.
Ayah tidak mengizinkan aku ke ribath (pesantren). Aku juga tidak diizinkan untuk bertemu dengan siapa pun yang berasal dari Hadhramaut. Jika aku mendapat surat dari ibuku, ayah selalu merobeknya. Dua setengah tahun aku tinggal bersama ayahku, selama itu pula aku selalu teringat kepada ibuku. Rasanya aku ingin lari dari rumah ayahku.
Ayahku memperoleh berbagai surat dari Hadhramaut: dari Abdullah bin Segaf Maulakhela, Ja’far bin Muhsin dan Ahmad bin Abdullah bin Husin bin Tohir yang bermaksud hendak meminang adikku Aminah. Setiap kali surat itu datang beliau membakarnya.
Suatu hari ayahku memanggil Alwi Assegaf.
“Aku nikahkan engkau dengan puteriku Aminah. Rayakanlah pernikahanmu di Hadhramaut, kemudian bawalah isterimu kemari.”
“Baik..., tapi carikan aku seseorang yang dapat menemaniku. Biarkan Ali pergi bersamaku,” kata Alwi Assegaf.
Aku sesungguhnya tidak memiliki harapan lagi untuk kembali ke Hadhramaut sampai suatu hari ayah memanggilku.
“Wahai Ali, pergilah ke Hadhramaut bersama Alwi Assegaf. Rayakanlah perkawinannya dengan Aminah, kemudian biarkan ia membawa istrinya ke Mekah.”
“Basysyarokallô hu bil khoir, Semoga Allah memberi ayah kebaikan,” jawabku.
Beliau lalu memberiku 20 Qursy dan Alwi Assegaf 50 Qursy. Setelah itu beliau memerintahkan kami untuk berangkat.
Kami segera meninggalkan kota Mekah. Setelah beberapa hari sampailah kami di Syuhuh. Ibuku tidak tahu tentang rencana kedatanganku ini, tapi Aminah bermimpi dan bercerita kepada ibuku, ‘Wahai Ibu, aku bermimpi bertemu kakakku Ali. Aku melihat seorang Badui mendatangiku. Ketika kutanya, ‘Siapakah kau?’ Ia menjawab, ‘Aku adalah utusan Habib Ali. Beliau sekarang sudah sampai di Syuhuh, dan akan segera sampai kemari.’
Aminah mendapat mimpi yang benar. Belum selesai ia bercerita, seorang Badui tiba-tiba mengetuk pintu.
“Siapa?” tanya adikku.
“Aku adalah utusan Habib Ali. Beliau sekarang sudah sampai di Syuhuh, dan nanti malam akan tiba di tempat ini.”
Mendengar berita ini, ibuku sangat gembira. Ketika aku masuk kota Seiwun, semua penduduk keluar menyambut kedatanganku. Aku segera menemui ibuku, beliau sangat gembira. Setelah masyarakat kembali ke rumah masing-masing ibuku bertanya, “Apa yang kau bawa?”
“Aku tidak membawa apa-apa selain uang 20 Qursy,” jawabku.
“Jangan khawatir, lihat, rumah ini penuh dengan gandum, beras dan korma,” kata ibuku.
“Ayah mengirim Alwi Assegaf bersamaku. Beliau telah menikahkannya dengan Aminah. Beliau berpesan agar setelah pesta perkawinan, Alwi diizinkan memboyong Aminah ke Mekah.”
“Akulah yang membesarkan Aminah. Dan aku sesungguhnya tidak ingin berpisah dengannya, tapi aku tidak mau menentang kehendak ayahmu,” ucap ibuku.
Aku kemudian merayakan perkawinan Alwi Assegaf dengan Aminah. Setelah perkawinan, Alwi tinggal di Seiwun selama dua atau tiga bulan, lalu ia kembali ke Mekah bersama Aminah.
Dua bulan setelah kepergian Aminah, ibu berkata kepadaku, “Aku ingin kau segera menikah.”
“Wahai ibu, aku tidak memiliki persiapan untuk menikah,” jawabku.
“Jangan khawatir, segalanya akan menjadi mudah.”
Ibuku kemudian menyarankan agar aku menikah dengan ibu Abdullah. Aku pun kemudian segera melamarnya. Semula ayahnya menolak lamaranku, masyarakat pun kemudian mencela calon mertuaku, “Bagaimana kau ini..., kau telah menolak lamaran seorang habib yang alim dan terhormat. Dia pernah belajar di Mekah.”
Akhirnya calon mertuaku berubah pikiran.
“Maafkan aku! Lupakanlah apa yang telah kulakukan kepadamu. Sekarang selamat datang, aku terima lamaranmu.”
Aku dan ibuku kemudian segera berangkat ke Qosam. Di sana aku menikah dengan ibu Abdullah. Pernikahan kami berlangsung sangat sederhana. Penduduk Qosam adalah orang-orang yang cinta kebajikan. Setiap tamu undangan memberi kami dua mud gandum. Kami memotong seekor kambing untuk jamuan makan di malam pernikahan. Namun, pada saat itu Allah mentakdirkan seorang warga Inat meninggal dunia, sehingga sebagian besar undangan melayat ke Inat. Kelebihan makanan: dua piring Haris, kami berikan kepada seorang terhormat di Qosam. Keesokan harinya, kami tidak lagi memiliki sisa makanan untuk makan siang. Ketika kami sedang duduk membuat kopi, tiba-tiba Ba Hannan datang membawa makanan di mangkok. “Ini Haris untuk makan siang kalian,” katanya. Kami pun lalu memakannya.
Setelah tinggal di Qosam selama empat bulan, aku kemudian kembali ke Seiwun. Tak lama setelah itu ibuku berkata, “Aku ingin kau menunaikan ibadah haji dengan cara menghajikan seseorang.” Aku lalu menghajikan Ahmad Sabaya atas biaya keluarganya.
Aku berkunjung ke rumah ayahku sebelum menunaikan ibadah haji. Dan setelah urusan haji selesai, aku meminta izin dari ayahku untuk kembali ke Hadhramaut.
Menjelang bulan haji tahun berikutnya, ibuku berkata, “Tunaikanlah ibadah haji sekali lagi tahun ini.” Aku kemudian mengabarkan keinginan ibuku ini kepada temanku Hasan bin Ahmad Alaydrus. Ia memberiku 80 Qursy.
“Semua pengeluaran, transportasi dan urusanmu dalam perjalanan kutanggung” kata Hasan bin Ahmad Alaydrus.
Aku kemudian berangkat bersama Hasan bin Ahmad dan Said bin Khalifah.
Di tengah perjalanan kami singgah di Syihr. Di sana kami berjumpa dengan Habib Abubakar bin Abdullah Alatas. Ketika pertama kali bertemu Habib Abubakar jantungku hampir saja copot, kulihat beliau diliputi cahaya.
“Lelaki ini malaikat atau manusia!” kataku dalam hati.
Setiap kali ada yang terlintas di hatiku, Habib Abubakar mengetahui kemudian menjelaskannya. Aku sangat senang dan gemas dengan Habib Abubakar. Rasanya ingin aku menelan beliau. Aku tak ingat pada keluargaku atau yang lain. Malam hari aku tidak dapat tidur, khawatir jika suatu saat nanti aku harus berpisah dengannya. Kemudian aku bertanya di mana Habib Abubakar akan menunaikan salat Subuh. Mereka mengatakan bahwa beliau akan salat Subuh di Mesjid Amr. Sebelum fajar, kami telah berada di Mesjid Amr. Tak lama kemudian Habib Abubakar datang, dan kami pun lalu salat Subuh berjamaah dengan beliau.
Tiga belas hari kami tinggal di Syihr bersama beliau. Selama itu aku membacakan kepadanya kitab Ar-Rasyafât dan beliau menerangkan dan melimpahkan ilmunya kepada kami. Beliau sering melihat aku, tapi setiap kali aku memandangnya, beliau segera memalingkan pandangannya dariku. Aku menjadi semakin suka dan senang kepada beliau. Habib Abubakar juga memberikan perhatian kepada Hasan bin Ahmad dan yang lain. Aku berkata kepada Hasan bin Ahmad, “Katakanlah kepada Habib Abubakar bahwa aku adalah anak Muhammad bin Husein.” Beberapa yang hadir juga berkata kepada Habib Abubakar, “Dia adalah anak Muhammad bin Husein.” “‘Ajîb (Oh, ya)?” jawab beliau. Setiap kali para hadirin mengenalkan aku, Habib Abubakar berkata: ‘Ajîb... (Oh, Ya...?!). Namun beliau akhirnya berkata kepadaku, “Wahai anakku, camkanlah bahwa fath-mu terletak pada kitab Ar-Rasyafât.” Aku pun berkata kepada beliau, “Katanya fath-ku di tanganmu.”
Aku akhirnya dapat mengkhatamkan kitab Ar-Rasyafât di bawah bimbingan beliau.
Setelah itu Habib Abubakar pergi ke Mukalla dan kami pun mengikuti beliau. Di Mukalla, beliau tinggal di rumah Abdurrahman Bahwal. Hasan bin Ahmad dan rombongannya meminta ijazah. Beliau memberi kami semua ijazah. Kemudian beliau menganjurkan kami untuk menziarahi Nabi saw. Beliau berkata, “Kalian akan memperoleh sesuatu dari Nabi saw.”
Hasan bin Ahmad beserta rombongannya kemudian melanjutkan perjalanan, begitu pula aku. Sesungguhnya, aku tidak ingin sedetik pun berpisah dari Habib Abubakar.
Kami akhirnya sampai di Jeddah. Dari Jeddah kami ke Mekah. Di Mekah, aku tinggal di rumah ayahku. Setelah beberapa hari di Mekah, rombongan kami pun berangkat ke Madinah. Di tengah perjalanan, kami singgah di Jeddah. Di kota ini kami bertemu dengan sekelompok Badui yang saleh. Ketika salat, mereka membaca surat-surat awal juz 30 hingga surat Ad-Dhuha. Suara ratib mereka terdengar sepanjang malam.
Kami dan rombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke Madinah. Suara kokok ayam dan penduduk Madinah menyambut kedatangan kami. Dari jauh aku melihat kubah hijau tempat Nabi saw dimakamkan. Pemandu ziarah (muzawwir) telah siap menunggu kami. Ia kemudian memandu kami ziarah ke kubur Al-Habib Muhammad saw dan menuntun kami semua untuk mengucapkan salam. Aku kemudian mengucapkan salam:
Salam sejahtera bagimu, duhai Rasulullah
Salam sejahtera bagimu, duhai kekasih Allah
Aku bersaksi bahwa sesungguhnya engkau
telah menyampaikan risalah dan menunaikan amanah
Pemandu ziarah akhirnya ikut berziarah bersama kami. Karena cahaya dan hudhûr-nya ziarah hampir saja jantungku berhenti berdetak. Pemandu ziarah itu ikut bersamaku ke bâbul malâ-ikah (pintu malaikat). Di sana aku menghadirkan Jibril dan Mikail. Tidak ada seorang pun yang mampu (yaqdir) berada di bâbul malâ-ikah di tengah malam. Kemudian aku mengucapkan salam kepada Sayidina Abubakar, kemudian kepada Sayidina Umar bin Khottôb. Setelah itu aku menziarahi Hababah Fatimah. Ketika duduk di depan makamnya, aku merasa sangat bahagia:
“Ya Hababah, kami adalah anakmu.”
Setelah itu aku pergi.
Malam hari itu aku sama sekali tidak tidur. Setiap hari aku mengkhatamkan Ad-Dalâil sebanyak tujuh kali. Pada malam hari, bersama Muhammad Al-Yamani, aku mengkhatamkan Ad-Dalâil sebanyak tujuh kali di Haram. Setelah itu kami membaca maulid atau Hamaziyah. Pada hari kesepuluh di siang hari, Hasan bin Ahmad Alaydrus tiba-tiba menemuiku.
“Nabi saw memerintahkan aku untuk menemuimu.”
“Aku tidak pantas menerima kemuliaan ini.”
“Kau pantas.”
(Habib Hasan bin Ahmad Alaydrus kemudian bercerita):
Suatu hari, aku keluar menuju Al-Haram seorang diri. Dalam hati aku berkata, “Aku ingin menghadap Nabi saw, semoga dari beliau muncul karomah untukku.” Sesampainya di sana aku duduk di hadapan jendela kubur. Tiba-tiba dari kubur Nabi saw, muncul cahaya menjulang ke langit. Cahaya itu kemudian menjelma seorang manusia, ia mengucapkan salam kepadaku,
“Assalâmu ‘alaika, ya Hasan.”
“Wa ‘alaikas salâm,” jawabku, “Sesungguhnya engkau ini siapa?”
“Aku adalah kekasihmu Muhammad saw,” kata beliau dengan menunjukkan rasa sukanya kepadaku, “Wahai Hasan.”
“Labbaik.”
“Apakah kau ingin ziarahmu ini diterima?”
“Ya.”
“Apakah kau ingin semua hajatmu dipenuhi?”
“Ya.”
“Jika kau ingin ziarahmu diterima dan semua hajatmu dipenuhi, temuilah Ali bin Muhammad Al-Habsyi, mintalah ijazah darinya, dan ikatlah tali persaudaraan dengannya.”
“Marhabâ,” jawabku.
“Aku tidak pantas, tapi tidak mungkin aku menolak perintah kekasihku saw,” kataku kepada Hasan.
Aku kemudian memberinya ijazah dan mengikat tali persaudaraan dengannya. Hasan bin Ahmad lalu pergi meninggalkanku. Tak lama kemudian, Syeikh ‘Athiyyah datang menemuiku dan berkata, “Tadi aku bertemu dengan kekasihku saw dan beliau berkata kepadaku, ‘Temuilah Ali bin Muhammad Al-Habsyi, katakan kepadanya: Jika Tuhanmu telah memenuhi semua keinginanmu, maka doakanlah aku.”
“Insyâ Allôh, jika Tuhanku memenuhi semua keinginanku, aku akan mendoakanmu,” jawabku.
Aku lalu bangkit menuju makam Nabi saw. Dengan erat kupegang jendela kubur yang terbuat dari besi itu, “Ya Habib Muhammad, engkau telah memberi semuanya, padahal aku adalah anakmu..., keturunanmu. .. Sejelek-jeleknya, maksimal aku adalah seorang yang berdosa, bagaimana mungkin engkau tidak memperhatikan aku?” Tiba-tiba jendela kubur bergetar dan terbuka.
“Ya Habib, aku bertobat, aku masih ingin bertemu dengan ibuku,” kataku sambil bergegas keluar.
Pada kesempatan lain, ketika aku menghadap Nabi saw seorang diri, aku melihat seorang laki-laki dari Maroko sedang menghadap ke jendela dan memanggil Al-Habib saw dan mengucapkan beberapa bait syair. Tanpa kusadari Hasyim bin Syeikh Al-Habsyi telah berdiri memegang jendela dengan erat
“Kau masuk dari mana? Semua pintu telah terkunci!” tanyaku kepadanya.
Karena Hasyim adalah temanku, maka ia berterus terang kepadaku, “Jika mereka telah menutup semua pintu, aku masuk lewat jalan ghaib.” Ia lalu berulang kali membaca ayat berikut:
“Wahai Al-Azîz, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan, dan kami datang membawa barang-barang yang tidak berharga, maka sempurnakanlah sukatan (takaran) untuk kami, dan bersedekahlah kepada kami, karena sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS Yusuf, 12:88)
Tiba-tiba Hasyim tersungkur dan Nabi saw mengulurkan tangannya kepada Hasyim. Hasyim kemudian menciuminya. Aku pun segera bersujud dan masih bisa menyentuh tangan Rasulullah saw.
Tiga hari kemudian aku berziarah ke kubur Sayidina Hamzah bersama Syeikh Muhammad Al-‘Azb. Selepas ziarah Syeikh Muhammad Al-‘Azb bertemu Sayidina Hamzah
“Aku bertemu Sayidina Hamzah dan beliau berkata, ‘Aku telah meminta izin kepada Nabi saw untuk menjamu kalian,’ katanya.
“Sungguh kesempatan yang sangat baik, siapa yang butuh sesuatu, maka utarakanlah.
Perhatikanlah, kita ini adalah orang-orang yang membutuhkan,” kataku.
Suatu hari aku duduk bersama Hasan bin Ahmad.
“Bagaimana jika engkau bukakan diwan Habib Abdullah Al-Haddad secara acak?” katanya. Aku lalu membukanya secara acak dan yang terbuka adalah bait syair berikut:
Dan Ibrahim menghancurkan patung-patung kaumnya dan menyisakan patung yang terbesar agar mereka malu
“Tafsirkanlah bait ini untukku dan tulislah di bawahnya,” kata Hasan.
“Habib Abdullah Al-Haddad menunjukkan bahwa keluarga Alaydrus memiliki kegemaran memimpin. Allah telah membersihkanmu dari kegemaran itu. Engkau adalah seorang Muhammadiy (berperilaku dengan akhlak Rasulullah SAW)” jawabku.
“Coba bukakan sekali lagi, Nabi saw mencintai kita atau tidak?” pintanya.
Dan ternyata yang terbuka bait berikut:
Duhai kekasih yang cantik
Tahukah engkau
aku menderita dan merana
“Coba bukakan sekali lagi, kita akan berkunjung ke Madinah lagi atau tidak?”
Ternyata bait syair yang tertulis adalah:
Semoga yang dirundung rindu ini
dapat mengunjungimu kembali
‘tuk mencium tanah dan atsarnya
“Sekarang aku akan membukanya untuk diriku sendiri,” kataku. Dan ternyata yang terbuka adalah bait berikut:
Arak keyakinan minuman kehormatan bagi kami
Minum dan mabuklah dengan anggur terbaik ini
Itulah minuman para pemimpin kami
Dan sesatlah jalan orang yang suka menyalahi
“Aku akan membuka sekali lagi, apakah kita dapat kembali ke Madinah lagi?” Dan ternyata yang terbuka bait berikut:
Semoga yang dirundung rindu ini
dapat mengunjungimu kembali
‘tuk mencium tanah dan atsarnya
“Aku ingin sesuatu yang benar dan nyata. Yang kita lakukan selama ini hanyalah mencari alamat-alamat baik saja,” kata Hasan, kemudian ia pergi. Sepeninggalnya aku tertidur sejenak, tiba-tiba tampak seorang lelaki berdiri di depan pintu. Cahayanya menjulang ke langit.
“Siapakah engkau?” tanyaku.
“Aku adalah kekasihmu Muhammad saw. Bukankah engkau belum lama berselang membuka diwan Abdullah Al-Haddad?” tanya beliau.
“Benar,” jawabku.
“Yang kau baca benar semua,” kata Nabi saw.
(Q:I:210)
Habib Umar bin Muhammad Maulakhela, Jawâhirul Anfâs Fî Mâ Yurdhî Rabban Nâs, I, Kumpulan Kalam Habib Ali.